Oleh Dr Nursalim, S. Pd., M. Pd
Ketua FAHMI TAMAMI AZWAJA Kota Batam
Sejarah besar sering kali lahir dari persoalan yang tampak sederhana. Begitulah kisah terbentuknya kalender Hijriyah, sebuah sistem penanggalan yang hingga kini menjadi penanda identitas, spiritualitas, dan kesadaran sejarah umat Islam. Ia tidak lahir dari ambisi kekuasaan, melainkan dari kebutuhan akan kejelasan, ketertiban, dan tanggung jawab dalam mengelola kehidupan bersama.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, sebuah surat kenegaraan dikirimkan kepada Gubernur Basrah, Abu Musa Al-Asy’ari. Surat itu memuat instruksi penting, namun hanya mencantumkan nama bulan tanpa menyebutkan tahun. Kekaburan waktu ini menimbulkan kebingungan serius. Abu Musa pun menulis kembali kepada Amirul Mukminin dengan pertanyaan yang sangat mendasar: apakah perintah itu berlaku untuk bulan Rajab yang telah berlalu, atau Rajab yang akan datang?
Pertanyaan tersebut membuka kesadaran besar bahwa umat Islam membutuhkan sistem penanggalan yang baku dan disepakati bersama. Umar bin Khattab segera mengumpulkan para sahabat Rasulullah ﷺ untuk bermusyawarah. Forum itu bukan sekadar diskusi teknis, melainkan pertemuan pemikiran para penjaga risalah yang menyadari bahwa peradaban tidak bisa berdiri tanpa keteraturan waktu.
Berbagai usulan pun muncul. Ada yang mengusulkan penanggalan dimulai dari kelahiran Rasulullah SAW ada pula dari wafat beliau. Namun di tengah musyawarah yang sarat hikmah itu, muncul gagasan jernih dari Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Ia mengusulkan agar tonggak kalender Islam dimulai dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, melainkan peristiwa transformatif yang mengubah arah sejarah Islam. Dari tekanan menuju kebebasan, dari dakwah sembunyi menuju masyarakat berdaulat, dari komunitas kecil menuju fondasi peradaban. Usulan ini diterima dengan penuh kebijaksanaan oleh Umar bin Khattab dan disepakati oleh para sahabat sebagai awal kalender Hijriyah.
Sejak saat itu, kalender Hijriyah tidak hanya menjadi alat ukur waktu, tetapi juga penanda kesadaran spiritual. Setiap pergantian tahun mengingatkan umat Islam bahwa hidup adalah perjalanan hijrah yang tiada henti berpindah dari kelalaian menuju kesadaran, dari keburukan menuju kebaikan, dan dari kegelapan menuju cahaya Ilahi.
Penamaan bulan-bulan Hijriyah sendiri telah dikenal sejak masa Arab pra-Islam, namun Islam memurnikan dan memuliakannya dengan nilai ibadah dan makna tauhid. Muharram dimuliakan sebagai bulan suci, Safar diluruskan dari mitos kesialan, Rabiul Awal dimuliakan dengan kelahiran Nabi akhir zaman. Jumadil mengingatkan keterikatan manusia dengan alam, Rajab mengajarkan pengagungan dan peristiwa Isra Mi’raj, Sya’ban menjadi jembatan persiapan ruhani.
Ramadhan hadir sebagai puncak penyucian jiwa dan turunnya Al-Qur’an. Syawal mengajarkan makna kemenangan dan kesinambungan amal. Zulkaidah mengajarkan ketenangan dan pengendalian diri, sementara Zulhijah menutup siklus tahun dengan pesan pengorbanan, keikhlasan, dan ketaatan total kepada Allah melalui ibadah haji dan kurban.
Dengan demikian, kalender Hijriyah adalah narasi agung tentang iman dan peradaban. Ia bukan hanya mencatat waktu, tetapi mendidik kesadaran. Ia tidak sekadar menghitung hari, tetapi mengarahkan makna hidup. Di dalamnya, setiap bulan adalah pelajaran, setiap tahun adalah evaluasi, dan setiap detik adalah amanah menuju perjumpaan dengan Sang Pemilik Waktu.
redaksi

