Ketika Bahasa Indonesia Diajarkan Menyeberangi Sungai Nil

Ketika Bahasa Indonesia Diajarkan Menyeberangi Sungai Nil

Oleh Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.

Sungai Nil mengalir tanpa tergesa, seperti ingatan panjang peradaban yang enggan dilupakan. Airnya memantulkan cahaya langit Kairo yang keemasan, sementara di tepiannya berdiri bangunan-bangunan tua—batu-batu yang telah menyerap doa, ilmu, dan pergulatan zaman. Di antara arus sejarah itulah, pada suatu pagi yang hening, sebuah bahasa dari negeri kepulauan bersiap menambatkan langkahnya: Bahasa Indonesia.
Di jantung Universitas Al-Azhar, aula kampus tampak lebih khidmat dari biasanya. Langkah kaki para tamu terdengar pelan, seolah setiap orang menyadari bahwa yang akan diresmikan bukan sekadar program akademik. Wajah-wajah penuh harap bertemu dalam keheningan yang tertata. Karangan bunga melingkar di leher sebagai tanda penghormatan, sementara pita merah direntangkan—tipis, rapuh, namun sarat makna. Pita itu adalah garis waktu: antara masa lalu dan masa depan, antara satu peradaban dengan peradaban lain.
Seorang pengajar bahasa duduk di barisan hadirin. Di tangannya, sebuah catatan kecil berisi kosakata dasar: sapaan, kata ganti, ungkapan hormat. Kata-kata yang sederhana, namun di sanalah denyut sebuah bangsa berdiam. Ingatannya melayang ke Nusantara—ke kampung halaman tempat bahasa pertama kali hadir di bibir ibu, dalam cerita rakyat yang dilantunkan senja hari, dan dalam petuah yang menasihati tanpa melukai. Bahasa itu tidak dibangun untuk meninggikan suara, melainkan untuk merawat rasa.
Kini, bahasa yang sama akan bertemu dengan lidah dan budaya yang berbeda. Ia akan diucapkan oleh mereka yang tumbuh dalam tradisi lain, namun dipersatukan oleh rasa ingin tahu yang serupa: keinginan memahami dunia tanpa prasangka.
Saat pita akhirnya terpotong, tepuk tangan menggema memenuhi ruangan. Namun makna peristiwa itu melampaui sorak sorai. Di sudut aula, seorang mahasiswa Mesir menunduk, mencatat dengan saksama. Dalam benaknya, ia membayangkan bunyi kata-kata Indonesia mengalir di ruang kelas seperti Sungai Nil—tenang, bersahaja, tetapi menghidupkan. Ia ingin mengenal negeri yang selama ini hadir samar dalam berita dan kisah para ulama perantau, negeri yang jauh namun terasa dekat dalam nilai.
Hari-hari berikutnya, ruang kelas menjadi saksi pertemuan bunyi dan makna. Kata-kata ditulis di papan tulis, dieja perlahan, diulang dengan kesabaran. Tawa pecah ketika pelafalan meleset, lalu senyap menyelimuti ruangan saat makna mulai meresap. Bahasa Indonesia tidak hadir sebagai penakluk, tidak pula sebagai penentu arah. Ia datang sebagai sahabat—mengajak berdialog, membuka ruang saling memahami.
Di antara huruf dan kalimat, tumbuh kesadaran yang perlahan menguat: bahwa bahasa adalah jembatan paling jujur antara manusia. Ia tidak memaksa keyakinan, tidak menghapus jati diri. Sebaliknya, ia memperkaya, menumbuhkan empati, dan mengajarkan penghormatan yang lahir dari pengertian.
Sungai Nil tetap mengalir seperti sediakala, setia pada jalurnya yang purba. Namun di tepinya, sebuah aliran lain kini lahir—aliran kata-kata yang membawa Indonesia ke jantung peradaban Islam, bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan kesantunan.
Cerita ini tidak berhenti pada hari peresmian. Ia akan terus berlanjut selama Bahasa Indonesia diajarkan dengan ketulusan, selama kata-kata diucapkan dengan niat memahami. Perjalanan menyeberangi Sungai Nil itu tak pernah benar-benar selesai. Ia akan terus mengalir, menghubungkan manusia dengan manusia, bangsa dengan bangsa, dalam kesunyian yang penuh makna.

( redaksi )