Teruslah Berdakwah sampai Mati dan Matilah dalam Dakwah

Teruslah Berdakwah sampai Mati dan Matilah dalam Dakwah

Oleh  : Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.
Ketua Afiliasi Pengajar Penulis Bahasa, Sastra, Budaya, Seni, dan Desain Provinsi Kepulauan Riau

Dakwah bukanlah sekadar aktivitas lisan yang disampaikan dari mimbar ke mimbar, bukan pula hanya rangkaian kata yang terdengar indah di telinga. Dakwah adalah jalan hidup, sebuah ikhtiar panjang yang menuntut keteguhan hati, keikhlasan niat, dan konsistensi sikap hingga akhir hayat. Ungkapan “Teruslah berdakwah sampai mati dan matilah dalam dakwah” bukanlah slogan emosional tanpa makna, melainkan seruan moral yang mengandung nilai pengabdian, ketulusan, dan tanggung jawab keimanan yang mendalam.

Dalam perspektif Islam, dakwah merupakan amanah ilahiah yang melekat pada setiap Muslim, sesuai kapasitas dan perannya masing-masing. Dakwah tidak selalu identik dengan ceramah keagamaan; ia hadir dalam perilaku sehari-hari, dalam tutur kata yang santun, dalam kejujuran bekerja, dalam kepedulian sosial, dan dalam keberanian menegakkan kebenaran. Oleh karena itu, berdakwah sampai mati berarti menjadikan seluruh dimensi kehidupan sebagai media penyampaian nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Sejarah Islam mencatat bahwa para nabi, rasul, ulama, dan tokoh pembaharu tidak pernah berhenti berdakwah meskipun menghadapi penolakan, ancaman, dan penderitaan. Mereka tetap istiqamah karena dakwah bukan pilihan, melainkan panggilan iman. Ketika dakwah dipahami sebagai panggilan hidup, maka lelah, letih, dan rintangan bukanlah alasan untuk berhenti, tetapi justru menjadi ujian ketulusan dalam berjuang di jalan Allah.

Di tengah kehidupan modern yang ditandai dengan perubahan sosial yang cepat, arus informasi yang tak terbendung, serta krisis nilai dan moral, dakwah menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Nilai-nilai kebaikan kerap terpinggirkan oleh kepentingan material, popularitas, dan pragmatisme. Dalam kondisi seperti ini, dakwah dituntut untuk hadir secara cerdas, kontekstual, dan menyentuh realitas kehidupan masyarakat. Berdakwah bukan lagi sekadar menyampaikan apa yang benar, tetapi juga bagaimana kebenaran itu dapat diterima, dipahami, dan diamalkan dengan penuh kesadaran.

“Matilah dalam dakwah” bukan berarti kematian fisik semata, melainkan kematian dalam keadaan tetap setia pada nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkan. Ia mencerminkan puncak pengabdian seorang Muslim yang menjadikan dakwah sebagai napas hidupnya. Ketika seseorang wafat dalam kondisi masih berjuang menyampaikan kebaikan, mendidik umat, membela nilai keadilan, dan menegakkan akhlak mulia, maka sejatinya ia meninggalkan warisan spiritual yang jauh lebih bernilai daripada harta dan jabatan.

Bagi para pendidik, penulis, budayawan, dan insan akademik, dakwah menemukan relevansinya melalui ilmu pengetahuan, bahasa, sastra, dan budaya. Menulis dengan kejujuran, mengajar dengan keteladanan, serta merawat budaya dengan nilai-nilai luhur adalah bentuk dakwah yang tak kalah penting. Dakwah melalui pena dan karya intelektual sering kali memiliki daya jangkau yang lebih panjang dan berkelanjutan, melampaui batas ruang dan waktu.

Pada akhirnya, seruan untuk terus berdakwah hingga akhir hayat adalah ajakan untuk hidup bermakna. Hidup yang tidak berhenti pada kepentingan diri, tetapi berorientasi pada kemaslahatan umat. Dakwah yang dilakukan dengan keikhlasan akan menumbuhkan kebaikan, meskipun hasilnya tidak selalu terlihat secara instan. Namun, Allah menilai proses, niat, dan kesungguhan hamba-Nya.

Teruslah berdakwah sampai mati, karena hidup tanpa dakwah adalah hidup yang kehilangan arah nilai. Dan matilah dalam dakwah, karena di situlah kemuliaan pengabdian seorang insan beriman menemukan maknanya yang paling hakiki.

( redaksi )