Oleh: Chablullah Wibisono
WR I Universitas Batam | Waketum MUI Kepri | Ketua FKUB Kota Batam
Batam selama ini dikenal sebagai simbol keberhasilan pembangunan industri di wilayah perbatasan Indonesia. Kota ini tumbuh cepat, bergerak dinamis, dan menjadi pusat perputaran ekonomi Kepulauan Riau. Namun di balik laju pertumbuhan yang mengesankan itu, Batam kini menghadapi pertanyaan mendasar: apakah pembangunan yang dijalani selama ini benar-benar berpihak pada keberlangsungan hidup manusia dan alam?
Berbagai persoalan lingkungan yang muncul belakangan ini menjadi alarm keras bagi arah pembangunan kota. Banjir yang semakin sering, pencemaran laut, longsor di kawasan perbukitan, serta menyusutnya ruang terbuka hijau bukan lagi peristiwa yang terisolasi, melainkan gejala sistemik yang mencerminkan tekanan besar terhadap daya dukung lingkungan.
Wilayah-wilayah yang dahulu relatif aman kini berulang kali terendam air saat hujan deras turun. Drainase tidak lagi mampu menampung limpahan air karena pendangkalan, penyempitan, dan tumpukan sampah. Kawasan yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan telah berubah menjadi pusat permukiman, pertokoan, dan kawasan industri. Air yang kehilangan ruang alami untuk kembali ke tanah akhirnya mencari jalannya sendiri: ke rumah-rumah warga.
Kondisi ini bukan hanya persoalan lingkungan fisik, tetapi telah menjelma menjadi persoalan sosial. Aktivitas ekonomi warga terganggu, anak-anak terhambat pendidikannya, pekerja kehilangan jam kerja, dan biaya hidup meningkat karena kerusakan yang terus berulang. Di titik inilah terlihat jelas bahwa krisis lingkungan selalu beriringan dengan krisis kemanusiaan.
Persoalan yang dihadapi Batam hari ini tidak dapat sepenuhnya dibebankan pada faktor alam. Pola pembangunan yang terlalu menekan ruang ekologis, lemahnya pengawasan terhadap tata ruang, serta rendahnya kesadaran kolektif dalam menjaga lingkungan menjadi rangkaian sebab yang saling berkait. Ketika bukit dipangkas, danau ditimbun, dan hutan dipersempit, maka sesungguhnya yang sedang dipangkas adalah masa depan.
Padahal secara geografis, Batam dianugerahi keunggulan alam yang sangat besar sebagai kota kepulauan. Laut yang luas, ekosistem pesisir yang kaya, serta posisi strategis di jalur perdagangan internasional merupakan modal peradaban yang tidak dimiliki semua daerah. Ironisnya, orientasi pembangunan selama ini masih sangat berat ke daratan, sementara laut lebih sering diposisikan sebagai latar pendukung, bukan pusat kehidupan.
Dampak dari pola ini mulai dirasakan oleh masyarakat pesisir. Ruang tangkap nelayan semakin sempit, kualitas perairan menurun akibat pencemaran, dan hasil laut tidak lagi sebanding dengan biaya operasional yang terus meningkat. Pertumbuhan ekonomi memang terus bergerak, tetapi tidak seluruh lapisan masyarakat merasakan manfaatnya secara adil.
Dalam situasi seperti inilah, pendekatan Blue Economy menjadi sangat relevan. Blue Economy bukan sekadar konsep ekonomi laut, tetapi paradigma pembangunan yang memandang laut sebagai sumber kehidupan yang harus dikelola secara berkelanjutan. Perikanan berkelanjutan, wisata bahari berbasis ekologi, industri hasil laut bernilai tambah, hingga energi terbarukan kelautan menjadi bagian dari ekosistem pembangunan yang ramah lingkungan sekaligus mensejahterakan.
Lebih dari itu, Blue Economy mengandung pesan etis yang kuat: bahwa pembangunan tidak boleh berdiri di atas kerusakan, dan pertumbuhan tidak boleh mengorbankan keselamatan generasi mendatang. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak hidup di atas alam, melainkan hidup bersama alam.
Namun perubahan arah pembangunan tidak akan terjadi tanpa keberanian politik. Pemerintah daerah dituntut tidak hanya menjadi motor investasi, tetapi juga penjaga keseimbangan ekologis. Penegakan aturan tata ruang harus berjalan tanpa kompromi. Pengawasan terhadap aktivitas industri harus dilakukan secara konsisten. Pelanggaran lingkungan tidak boleh dinegosiasikan atas nama pertumbuhan ekonomi.
Di saat yang sama, masyarakat juga memegang peran penting. Kesadaran menjaga lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, serta ikut mengawasi jalannya pembangunan adalah bagian dari tanggung jawab warga negara. Pembangunan yang sehat tidak hanya lahir dari kebijakan, tetapi juga dari partisipasi publik yang aktif dan kritis.
Kini Batam benar-benar berada di persimpangan sejarahnya. Ia dapat terus melaju sebagai kota industri modern, tetapi dengan risiko ekologis yang semakin besar. Atau ia dapat memilih jalan pembangunan yang lebih bijaksana: membangun dengan keseimbangan antara ekonomi, lingkungan, dan keadilan sosial.
Arah yang ditempuh hari ini akan menentukan wajah Batam di masa depan—apakah ia akan menjadi kota yang maju tetapi rapuh, atau kota yang tumbuh kuat karena berpijak pada kelestarian alam dan kemanusiaan.
Sebab pada akhirnya, kemajuan sejati sebuah kota tidak hanya diukur dari jumlah pabrik, besarnya investasi, dan tingginya gedung-gedung beton, tetapi dari kemampuannya menjaga lautnya, merawat lingkungannya, dan memuliakan manusia yang hidup di dalamnya.
( redaksi )


