Emas Melimpah, Kesenjangan Menganga : Potensi Aksi Protes Menguat di Banyuwangi

Emas Melimpah, Kesenjangan Menganga : Potensi Aksi Protes Menguat di Banyuwangi

BANYUWANGI, BERITAREPUBLIKVIRAL.COM –

Kepemilikan sumber daya alam berupa Tambang Emas Tumpang Pitu di Banyuwangi kini menjadi fokus perhatian AMPD. Menurut Nurul Amin, Alih-alih membawa kesejahteraan merata, kekayaan perut bumi itu justru dihadapkan pada sikap elitis dari kepemimpinan daerah dan meningkatnya disparitas sosial-ekonomi di tengah masyarakat. “Bahwa kemudian kondisi semacam inilah yang berpotensi besar memicu gelombang aksi unjuk rasa dari warga yang mendambakan keadilan dan keterbukaan. Indikator berikutnya, sikap elitis dan jurang kesenjangan serta jarak atau sekat antara pemimpin daerah dengan warga, diperburuk dengan kontroversi pengelolaan sumber daya tambang.” terangnya.

Masyarakat, kata pria yang kerap disapa bung Emen ini, merasa kesulitan untuk menyampaikan aspirasi dan pandangan secara langsung kepada kepala daerah. Pertemuan yang dianggap penting sering dinilai terkondisikan atau eksklusif bagi kalangan tertentu. “Menurut saya, hal inilah yang kemudian menciptakan citra kepemimpinan yang elitis,” katanya.

Faktor selanjutnya, keberadaan tambang emas Tumpang Pitu yang menyimpan deposit bernilai tinggi, disinyalir tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas hidup signifikan bagi masyarakat di sekitar lokasi tambang, bahkan Banyuwangi secara umum. “Kesenjangan ekonomi terlihat jelas, memunculkan pertanyaan kritis tentang bagi hasil (saham/golden share) dan dampak sosial-lingkungan pertambangan itu sendiri. Sejarah mencatat, penolakan dan kritik terhadap aktivitas tambang seringkali berujung pada konflik sosial di masyarakat (pro dan kontra) serta dugaan kriminalisasi terhadap aktivis dan warga penolak tambang. Hal ini semakin memperparah ketidakpercayaan publik terhadap proses pengambilan keputusan terkait tambang. Faktor-faktor inilah yang menurut kami menjadi faktor fundamental penolakan terhadap kebijakan Pemkab Banyuwangi berupa Dana Abadi Daerah (DAD),” jelasnya. Senin (10/11/2025).

“Jika kondisi demikian itu tengah berlangsung, maka tuntutan masyarakat akan dialog terbuka dan partisipasi bermakna menjadi sangat mendesak. Tentunya harapan masyarakat Banyuwangi saat ini dapat dekat tanpa sekat dan duduk bersama dengan kepala daerahnya, dapat mengakomodir segala dinamika dan perbedaan sudut pandang yang ada itu menjadi poin tersendiri,” imbuhnya.

Jika hal ini dibiarkan larut begitu saja, menurut Emen​ketidakpuasan akibat dugaan sikap elitis dan disparitas ekonomi ini terakumulasi dan menciptakan titik didih di kalangan warga, aktivis lingkungan, dan kelompok mahasiswa.

“​Maka kemudian aksi unjuk rasa dapat dipandang sebagai jalan terakhir bagi masyarakat untuk menekan Pemerintah Daerah. Tak ada salahnya, Pemerintah Daerah mulai memikirkan tentang keberpihakan. Misalnya melalui forum tatap muka yang autentik dan inklusif dengan seluruh elemen masyarakat dan bukan sekadar acara seremonial. Menyajikan data yang transparan mengenai keuntungan daerah (golden share atau lainnya), penggunaan dana CSR, serta langkah mitigasi dampak lingkungan yang telah dilakukan oleh perusahaan tambang (PT BSI atau lainnya) sebagai bentuk transparansi. Kemudian yang terakhir Mendesak adanya evaluasi menyeluruh terhadap Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dikeluarkan, terutama yang berkaitan dengan perubahan status hutan lindung menjadi hutan produksi,” terangnya.

​Emen menegaskan, selama aspirasi warga tidak didengarkan dan jurang perbedaan sudut pandang terus diabaikan, potensi mobilisasi massa untuk melakukan protes terbuka akan semakin besar.

“Masyarakat Banyuwangi menuntut janji kemakmuran dari kekayaan alam mereka, bukan sekadar menikmati panggung elitis dan menyaksikan jurang kemiskinan yang kian melebar,” tegasnya.

(Tim).