Empat Dosa Konstruksi di Balik Runtuhnya Ponpes Al Khoziny Sidoarjo

Jakarta Berita 06

Gedung Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo runtuh – Apa yang sudah diketahui? - BBC News Indonesia

Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menewaskan 37 orang, membuka luka kemanusiaan sekaligus mengungkap empat dosa konstruksi yang selama ini terabaikan dalam pembangunan fasilitas komunitas.

Sudjatmiko, Anggota DPR RI Komisi V dari Fraksi PKB, menyebut bahwa insiden ini bukan sekadar musibah, melainkan akibat dari kelalaian teknis yang sistematis dan bisa dicegah.

Ia menegaskan bahwa nyawa tidak boleh menjadi taruhan atas pembangunan yang dilakukan tanpa perencanaan matang dan pengawasan profesional.

Berikut empat dosa konstruksi yang menjadi akar keruntuhan bangunan pesantren:

 

1. Perencanaan Struktur yang Lemah

Banyak bangunan swadaya seperti pesantren dibangun tanpa melibatkan tenaga ahli teknik sipil bersertifikat. Perhitungan beban, kekuatan struktur, dan pemilihan material tidak diuji sesuai standar nasional. Bangunan berdiri hanya berdasarkan pengalaman tukang atau niat baik komunitas, bukan pada kalkulasi teknis yang terukur.

2. Material Konstruksi di Bawah Standar

Demi menekan biaya, pengembang swadaya sering mengganti material seperti baja tulangan, semen, dan pasir dengan kualitas rendah. Material yang tidak sesuai spesifikasi teknis ini secara langsung melemahkan daya dukung bangunan dan meningkatkan risiko keruntuhan. Banyak kasus menunjukkan penggunaan semen oplosan, pasir bercampur lumpur, atau besi bekas yang tidak layak pakai.

3. Minimnya Pengawasan Profesional

Tahapan pembangunan di lapangan tidak diawasi oleh insinyur sipil bersertifikat. Tanpa pengawasan teknis yang ketat, pemasangan material dan pelaksanaan konstruksi rawan kesalahan dan penyimpangan dari rencana awal. Fungsi pengawasan ini seharusnya menjadi benteng terakhir untuk memastikan setiap tahap pembangunan berjalan sesuai standar dan tidak asal jadi.

4. Pengabaian Kajian Geoteknik

Banyak pembangunan dilakukan tanpa analisis kondisi tanah. Di wilayah seperti Sidoarjo yang memiliki kontur tanah lunak, desain pondasi harus disesuaikan secara khusus. Tanpa kajian geoteknik, bangunan rentan amblas, retak, atau miring sebelum mencapai usia pakai. Padahal, kajian ini menentukan jenis pondasi, kedalaman tiang, dan metode stabilisasi tanah yang wajib diterapkan sejak awal.

Sudjatmiko menegaskan bahwa selama pembangunan masih mengandalkan niat baik tanpa standar teknis yang ketat, risiko tragedi serupa akan terus menghantui.

Ia menyebut bahwa pesantren sebagai pusat pembinaan moral harus menjadikan keselamatan penghuni sebagai tanggung jawab spiritual yang diwujudkan melalui kualitas bangunan.

Tragedi Al Khoziny harus menjadi titik balik bagi ratusan pesantren dan fasilitas komunitas lainnya.

Setiap pembangunan harus dimulai dengan perhitungan struktur dan pondasi oleh konsultan teknik sipil dan arsitek berizin sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI).

Pemerintah daerah dan asosiasi profesi teknik sipil perlu melakukan audit kelayakan bangunan pesantren secara berkala, termasuk kondisi pondasi, kolom, dan material.

Pembangunan fasilitas komunitas tidak boleh lagi dilakukan tanpa Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), perhitungan struktur, dan pengawasan profesional.

Mutu bahan bangunan wajib diverifikasi dan diuji sesuai prosedur SNI, termasuk SNI 1726:2019 tentang perencanaan ketahanan gempa.

Pemerintah juga perlu menyediakan skema bantuan khusus untuk renovasi dan standarisasi pesantren agar sesuai dengan standar konstruksi aman.

Sudjatmiko menutup pernyataannya dengan tegas bahwa kegagalan struktur adalah kegagalan sistem yang harus segera diperbaiki demi melindungi nyawa generasi selanjutnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *