Oleh: Dr. Nur Salim, S.Pd., M.Pd.
Ketua APEBSKID Provinsi Kepulauan Riau
Inilah potret pejabat pilihan kalian. Kalimat ini terasa pahit, namun menjadi cermin yang memantulkan kegelisahan publik. Ketika rakyat Aceh dilanda kelaparan sebuah kenyataan yang seharusnya mengetuk nurani siapa pun yang mengemban amanah negara—yang tampak justru seorang pejabat negara menikmati hidangan sambil bercengkerama dengan penuh kenyamanan. Bukan soal makanannya, melainkan tentang empati yang absen di tengah tragedi kemanusiaan.
Kekuasaan sejatinya adalah amanah. Ia bukan panggung kenyamanan, apalagi ruang untuk memamerkan jarak emosional dari penderitaan rakyat. Dalam situasi krisis, sikap seorang pemimpin bahkan gestur kecil memiliki makna simbolik yang besar. Ketika simbol itu melukai rasa keadilan publik, maka yang terciderai bukan hanya kepercayaan, tetapi juga martabat negara.
Sangat disesalkan ketika oknum menteri yang seharusnya menjadi wajah kepedulian negara justru tampil seolah tak tersentuh oleh derita warganya. Di saat masyarakat berjuang memenuhi kebutuhan paling dasar, publik berharap kehadiran pemimpin yang bersuara, bergerak, dan merasakan denyut penderitaan itu sebagai urusan bersama. Negara tidak boleh terlihat santai ketika rakyatnya berada dalam kondisi darurat.
Kepemimpinan bukan semata kemampuan administratif. Ia adalah kepekaan moral. Seorang pejabat publik dituntut bukan hanya bekerja sesuai prosedur, tetapi juga membaca suasana batin bangsa. Dalam konteks ini, empati adalah kebijakan paling awal yang harus hadir sebelum program, anggaran, dan konferensi pers. Tanpa empati, kebijakan kehilangan ruhnya.
Peristiwa semacam ini semestinya menjadi bahan refleksi bersama, bukan sekadar polemik sesaat. Kita perlu bertanya: ke mana arah etika kepemimpinan kita? Apakah kekuasaan telah terlalu lama menjauh dari suara rakyat hingga lupa bagaimana rasanya lapar, cemas, dan terpinggirkan? Pertanyaan-pertanyaan ini penting agar demokrasi tidak berhenti pada bilik suara, melainkan terus hidup dalam akuntabilitas dan kepedulian.
Sebagai insan pendidikan, saya meyakini bahwa krisis empati adalah krisis nilai. Pendidikan karakter yang kita gaungkan harus tercermin di ruang kekuasaan. Anak-anak bangsa belajar bukan hanya dari buku pelajaran, tetapi dari teladan para pemimpinnya. Ketika teladan itu rapuh, maka yang diwariskan adalah sinisme, bukan harapan.
Negara harus hadir dengan wajah yang manusiawi. Pejabat publik perlu menyadari bahwa setiap tindakan terlebih di ruang publik adalah pesan. Pesan tentang keberpihakan, kepekaan, dan tanggung jawab. Di tengah penderitaan rakyat, pesan yang dibutuhkan bukan kenyamanan, melainkan keberanian untuk merasakan dan bertindak.
Akhirnya, kritik ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk mengingatkan. Kekuasaan akan selalu diuji oleh situasi sulit. Yang membedakan pemimpin sejati adalah bagaimana ia berdiri bersama rakyatnya, terutama saat mereka paling membutuhkan. Empati bukan kelemahan; ia adalah kekuatan moral yang menjaga kekuasaan tetap berada di jalur kemanusiaan. Jika empati itu hilang, maka yang tersisa hanyalah jarak dan jarak itulah yang paling berbahaya bagi sebuah bangsa.
redaksi

