Rencana Tender Tambang Bauksit di Bintan Menuai Kritik, Pengamat Nilai Abaikan Daya Dukung Lingkungan dan Konstitusi

Rencana Tender Tambang Bauksit di Bintan Menuai Kritik, Pengamat Nilai Abaikan Daya Dukung Lingkungan dan Konstitusi

beritarepublikviralnews.com. Tanjungpinang — Wacana pembukaan tender pelelangan puluhan titik tambang bauksit di Kabupaten Bintan kembali memantik polemik. Tokoh masyarakat Kepulauan Riau, Ir. Muhammad Nazar Machmud, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan tersebut yang dinilainya tidak sensitif terhadap kondisi lingkungan, berpotensi memicu konflik sosial, serta menjauh dari amanat konstitusi.

Nazar menilai kondisi ekologis Bintan sudah berada pada tahap yang mengkhawatirkan akibat aktivitas pertambangan masa lalu. Daya dukung lingkungan melemah, bekas tambang belum pulih, dan ruang hidup masyarakat kian terdesak. Dalam situasi seperti itu, rencana membuka kembali puluhan titik tambang dinilainya sebagai kebijakan yang tidak rasional dan miskin perspektif keberlanjutan.

“Lingkungan sudah rusak, konflik sosial mengintai, tetapi izin masih terus digelontorkan. Ini bukan lagi soal salah hitung, tetapi soal cara pandang pembangunan yang keliru,” ujar Nazar. Ia bahkan menyindir motif di balik kebijakan tersebut sebagai perburuan PAD semu, yang lebih menyerupai “pendapatan untuk dinasti” ketimbang instrumen kesejahteraan publik.

Menurut Nazar, pola perizinan pertambangan di Kepulauan Riau selama ini cenderung mengabaikan prinsip kehati-hatian dan keadilan antargenerasi. Tambang, alih-alih membawa kemakmuran, justru meninggalkan kerusakan ekologis, ketimpangan ekonomi, serta konflik kepentingan yang kerap beririsan dengan elite kekuasaan daerah.

Ia juga mengingatkan agar pemerintah daerah tidak mengulangi pola pemaksaan kebijakan seperti yang terjadi dalam polemik Rempang. Menurutnya, proyek yang mengabaikan kepentingan rakyat dan merusak ruang hidup pasti akan berhadapan dengan resistensi sosial. “Itu bukan soal pro atau kontra semata, tapi hukum sosial yang tak terhindarkan,” tegasnya.

Kritik Nazar sejalan dengan pandangan sejumlah pengamat hukum dan kebijakan publik. Pengamat hukum tata negara menilai rencana tender tambang bauksit di wilayah kepulauan seperti Bintan berisiko bertentangan dengan prinsip pengelolaan sumber daya alam dalam Pasal 33 UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan sekadar menjadi objek eksploitasi ekonomi jangka pendek.

Dalam konteks ini, Nazar mengaitkan kebijakan daerah dengan pernyataan tegas Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dalam sidang kabinet, yang menegaskan tidak akan ada izin—baik HTI, HPH, maupun IUP—yang diterbitkan atau diperpanjang apabila tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat.

“Pesan Presiden sangat jelas. Pertanyaannya, apakah semangat konstitusional itu benar-benar dijalankan hingga ke daerah, atau justru dibelokkan oleh kepentingan sempit?” kata Nazar.

Ia menekankan bahwa Pasal 33 UUD 1945 bukan sekadar norma hukum, melainkan roh pengelolaan sumber daya alam Indonesia. Namun dalam praktiknya, prinsip “sebesar-besar kemakmuran rakyat” kerap tereduksi oleh liberalisasi sektor tambang, di mana negara lebih banyak berperan sebagai pemberi izin, sementara kendali ekonomi berada di tangan swasta dan oligarki.

Nazar mengingatkan bahwa pada masa awal republik, sektor pertambangan diposisikan sebagai cabang produksi strategis yang dikelola negara melalui perusahaan negara. Keterlibatan swasta bersifat kemitraan, bukan dominasi. Perubahan arah regulasi, menurutnya, telah melahirkan apa yang ia sebut sebagai “oligarki hitam” yang menguasai sumber daya, sementara rakyat hanya mewarisi kerusakan lingkungan dan konflik sosial.

Pengamat ekonomi lingkungan turut menilai bahwa ketergantungan pada tambang sebagai sumber PAD merupakan jalan pintas yang berisiko tinggi, terutama bagi daerah kepulauan yang rapuh secara ekologis. Alternatif pembangunan berbasis ekonomi hijau, penguatan sektor kelautan, pariwisata berkelanjutan, serta industri bernilai tambah dinilai jauh lebih selaras dengan karakter Kepulauan Riau.

Menutup pernyataannya, Nazar mendesak agar rencana tender tambang bauksit di Bintan ditinjau ulang secara menyeluruh. Ia menekankan pentingnya kajian lingkungan yang independen, transparansi kepentingan, serta partisipasi publik yang bermakna. Tanpa itu, ia memperingatkan, kebijakan tambang hanya akan memperpanjang daftar konflik dan memperdalam ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

“Sudah saatnya kembali ke khitah konstitusi. Sumber daya alam harus dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk segelintir elite,” pungkasnya.

( NT )