Ketika Bahasa Indonesia Menyeberangi Sungai Nil

Ketika Bahasa Indonesia Menyeberangi Sungai Nil

Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.

Sungai Nil mengalir dengan ketenangan yang nyaris metafisik. Ia tidak sekadar membawa air, tetapi juga ingatan kolektif tentang peradaban yang pernah bangkit, runtuh, lalu bangkit kembali dalam rupa ilmu pengetahuan. Di sepanjang tepinya, manusia belajar membaca waktu—bahwa sejarah tidak pernah benar-benar berlalu, ia hanya berubah wujud. Di hadapan aliran purba itulah, pada suatu hari yang sunyi namun bermakna, sebuah bahasa dari negeri kepulauan memulai perjalanannya: Bahasa Indonesia.

Di jantung Universitas Al-Azhar, lembaga keilmuan yang denyut intelektualnya telah berabad-abad menyentuh dunia Islam, Bahasa Indonesia diperkenalkan bukan sebagai simbol ekspansi, melainkan sebagai undangan dialog. Bahasa yang lahir dari perjumpaan laut dan darat, dari keberagaman etnis dan keyakinan, dari tradisi lisan yang mengutamakan kesantunan. Ia tidak dibentuk oleh satu pusat kekuasaan, melainkan oleh kesepakatan kolektif untuk saling memahami.

Aula kampus menjadi ruang peristiwa. Para akademisi, mahasiswa, dan tamu undangan hadir dengan kesadaran bahwa yang dirayakan bukan sekadar pembukaan kelas bahasa. Pita merah yang direntangkan bukan lambang seremonial belaka, melainkan penanda simbolik sebuah lintasan kebudayaan—dari Nusantara ke Afrika Utara, dari Samudra Hindia ke Sungai Nil. Ketika gunting memutus pita, sejarah kecil pun tercipta, sunyi tetapi signifikan.
Di antara hadirin, seorang pengajar bahasa menggenggam catatan sederhana berisi kosakata awal. Kata-kata itu tampak biasa, tetapi sesungguhnya mengandung dunia: cara menyapa tanpa merendahkan, cara berterima kasih tanpa berlebihan, cara menyebut Tuhan dengan penuh hormat.

Ingatannya kembali pada asal-usul bahasa itu—pada ibu yang menuturkannya pertama kali, pada cerita rakyat yang diwariskan tanpa kitab, pada nilai yang hidup dalam tutur, bukan doktrin.

Bahasa Indonesia kini berhadapan dengan lidah yang berbeda, struktur bunyi yang lain, dan latar budaya yang asing. Namun justru di situlah maknanya diuji: apakah bahasa mampu melampaui asal-usul geografisnya dan menjadi milik kemanusiaan yang lebih luas.

Hari-hari setelah peresmian memperlihatkan jawaban perlahan. Di ruang kelas, bunyi dan makna saling mencari titik temu. Kata-kata diucapkan dengan jeda, diulang dengan kesabaran, dan dipahami dengan keheningan. Tawa muncul ketika pelafalan melenceng, tetapi pemahaman tumbuh ketika makna mulai bersandar pada rasa. Bahasa Indonesia tidak hadir sebagai struktur yang menuntut kepatuhan, melainkan sebagai ruang belajar bersama.

Seorang mahasiswa Mesir mencatat dengan tekun. Baginya, bahasa ini membuka jalan baru untuk memahami negeri yang selama ini hadir secara abstrak—sebagai berita, statistik, atau narasi politik. Kini Indonesia hadir sebagai suara, sebagai kalimat, sebagai kemungkinan dialog. Bahasa menjadi medium untuk melihat manusia, bukan sekadar negara.

Di titik inilah bahasa menunjukkan hakikat kebudayaannya. Ia bukan alat dominasi, melainkan jembatan empati. Ia tidak menghapus identitas, tetapi memperluas cakrawala. Sungai Nil tetap mengalir seperti biasa, tetapi di tepinya telah lahir aliran lain—aliran simbolik yang menghubungkan Nusantara dengan pusat peradaban Islam, bukan melalui kekuasaan, melainkan melalui pengertian.

Perjalanan ini tidak selesai pada satu peresmian, satu kelas, atau satu generasi mahasiswa. Selama Bahasa Indonesia diajarkan dengan kesadaran kultural, selama kata-kata diucapkan dengan niat memahami, bukan menundukkan, maka ia akan terus menyeberangi Sungai Nil—bukan secara fisik, melainkan secara maknawi. Mengalir dari manusia ke manusia, dari budaya ke budaya, dalam kesunyian yang sarat kebijaksanaan.

( redaksi )