Beranda » Warga RW 09 Setiakawan Tolak Ganti Rugi Tol Semanan–Duripulo–Sunter: “Penggusuran Dilegalkan atas Nama PSN”

Warga RW 09 Setiakawan Tolak Ganti Rugi Tol Semanan–Duripulo–Sunter: “Penggusuran Dilegalkan atas Nama PSN”

BeritaRepublikViral.Com-Jakart Pusat – Ketegangan kembali membara di RW 09, Kelurahan Setiakawan, Jakarta Pusat. Warga yang terdampak pembangunan Proyek Jalan Tol Semanan–Duripulo–Sunter—bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN)—secara tegas menolak nilai ganti rugi yang ditetapkan tim appraisal. Mereka menilai kompensasi tersebut bukan bentuk keadilan, melainkan praktik penggusuran yang dibungkus legalitas administrasi.

Penolakan mencuat setelah warga menerima hasil penilaian resmi dari Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). Dokumen yang diperoleh awak media mencantumkan Total Penggantian Wajar (TPW) sebesar Rp1.024.815.850, dengan rincian sebagai berikut:

Tanah 55 m²: Rp765.021.628

Bangunan 92,65 m²: Rp257.053.402

Benda lain terkait tanah: Rp2.740.820

Namun bagi warga, angka tersebut sama sekali tidak merepresentasikan realitas harga tanah di Jakarta Pusat, apalagi menjamin keberlangsungan hidup setelah terusir dari ruang tinggal mereka.

“Dengan uang segitu kami tidak bisa membeli tanah di Jakarta. Bahkan untuk pindah ke pinggiran pun sulit. Ini bukan ganti rugi, ini pengusiran yang dibuat seolah-olah sah,” ujar Fatimah, warga terdampak.

Keadilan yang Menyempit di Meja Appraisal

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menegaskan dalam Pasal 9 bahwa pengadaan tanah harus menjamin prinsip keadilan dan kesejahteraan masyarakat terdampak.

Namun realitas di lapangan menunjukkan jurang lebar antara teks hukum dan praktik. Warga mengaku tidak pernah dilibatkan secara transparan dalam proses penilaian.

“Kami hanya menerima angka final. Tidak pernah dijelaskan dasar perhitungannya—harga pasar, pembanding lokasi, nilai historis, atau dampak sosialnya,” ungkap,” warga lainnya.

Padahal, Pasal 68 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2021 secara eksplisit mengatur bahwa penilaian ganti rugi wajib mempertimbangkan harga pasar terkini, fungsi sosial tanah, serta kerugian non-material, termasuk hilangnya mata pencaharian dan ikatan sosial masyarakat.

Fakta di RW 09 Setiakawan justru menunjukkan pola sebaliknya: nilai diseragamkan, konteks sosial diabaikan, dan warga direduksi menjadi sekadar angka dalam tabel appraisal.

“Kami ini bukan angka di lembar penilaian. Kami hidup dan mencari nafkah di sini,” tegas tokoh warga RW 09 yang menolak menandatangani berita acara musyawarah.

Investigasi dilapangan yang Kami pantau : Jauh di Bawah Harga Pasar

Hasil penelusuran kami menemukan bahwa nilai ganti rugi tanah yang ditetapkan berada di kisaran di bawah Rp14 juta per meter persegi. Angka ini sangat timpang jika dibandingkan dengan harga pasar tanah di Jakarta Pusat yang, berdasarkan berbagai transaksi dan listing properti, telah menembus Rp80–90 juta per meter persegi, bahkan lebih di sejumlah titik strategis.

Selisih mencolok ini memunculkan pertanyaan serius: atas dasar apa penilaian tersebut ditetapkan, dan siapa yang diuntungkan?

Hak Keberatan Ada, Namun Sulit Dijangkau

Secara hukum, warga masih memiliki hak mengajukan keberatan atas nilai ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU No. 2 Tahun 2012, yakni melalui gugatan ke Pengadilan Negeri.

Namun bagi warga kecil, mekanisme ini kerap menjadi ilusi keadilan. Biaya perkara, proses panjang, serta minimnya akses pendampingan hukum membuat jalur keberatan nyaris mustahil ditempuh. Ketimpangan posisi antara pelaksana proyek dan masyarakat terdampak pun semakin telanjang.

Tol Semanan–Duripulo–Sunter: Janji Infrastruktur, Luka Sosial

Di atas kertas, Proyek Tol Semanan–Duripulo–Sunter digadang-gadang sebagai penghubung strategis Jakarta Barat, Pusat, dan Utara, dengan janji kelancaran mobilitas dan pertumbuhan ekonomi.

Namun bagi warga RW 09 Setiakawan, proyek ini justru meninggalkan luka penggusuran, rasa terpinggirkan, dan ketidakpastian masa depan.

Di tengah tumpukan dokumen appraisal dan jargon pembangunan, warga memilih bertahan. Mereka menegaskan perjuangan ini bukan semata soal nominal, melainkan soal martabat dan kemanusiaan.

“Kami tidak anti pembangunan. Kami hanya menolak ketidakadilan yang dilegalkan,” pungkas Fatimah.

( LYU )

Scroll to Top
Logo Berita Republik Viral
Redaksi | Kode Etik Jurnalistik | Pedoman Media Siber | Tentang Kami | Kontak | Dasar Hukum
PT. Indomedia Domain Rakyat Facebook Instagram YouTube TikTok
WhatsApp