Oleh Dr. Nursalim, S.Pd., M.Pd.
Pengurus Persatuan Muballigh Kota Batam
Ada satu pesan cinta yang sering terabaikan dalam kesibukan hidup manusia modern, padahal ia adalah pesan paling jujur, paling hening, dan paling menyelamatkan. Pesan itu tidak lahir dari gemerlap kata-kata dunia, tetapi tumbuh dari kesadaran tauhid yang paling dalam tentang hidup, mati, dan pertanggungjawaban di hadapan Allah. Pesan itu sederhana, namun mengguncang jiwa: “Sholatlah.”
Pesan ini bukan sekadar ajakan ibadah, melainkan seruan cinta yang penuh peringatan dan kasih sayang. Ia adalah pesan yang selalu hadir ketika manusia mulai menyadari bahwa hidup ini fana, sementara akhirat adalah tujuan yang kekal. Ketika harta tak lagi mampu menolong, jabatan tak lagi melindungi, dan manusia tak lagi bisa bersandar pada siapa pun, sholat menjadi satu-satunya tali penghubung antara hamba dan Rabb-nya.
Rasulullah ﷺ sendiri telah menanamkan pesan ini kepada keluarganya dengan sangat tegas sekaligus penuh cinta. Dalam sebuah riwayat yang masyhur, beliau bersabda kepada putri tercintanya, Fatimah radhiyallahu ‘anha:
“Wahai Fatimah, putri Muhammad, sholatlah. Aku tidak dapat menolongmu sedikit pun di hadapan Allah jika engkau meninggalkan sholat.”
Pesan ini bukan ancaman, melainkan puncak cinta seorang ayah dan seorang nabi. Rasulullah ﷺ ingin menegaskan bahwa nasab, kedekatan keluarga, bahkan hubungan darah dengan seorang nabi sekalipun, tidak akan menyelamatkan seseorang tanpa ketaatan kepada Allah. Sejak dari liang lahat, perjalanan di alam barzakh, hingga hari kebangkitan di padang Mahsyar, yang menjadi penolong bukanlah siapa ayah kita, melainkan bagaimana sholat kita.
“Wahai anakku,” seakan Rasulullah ﷺ berkata kepada seluruh umatnya,
“Aku mencintaimu, tetapi aku tidak dapat menggantikan sholatmu. Aku mengasihimu, tetapi aku tidak bisa bersujud untukmu.”
Karena itu, sholat bukan sekadar kewajiban, melainkan bukti cinta seorang hamba kepada Tuhannya dan bukti kesungguhan iman yang akan menyertainya hingga akhir perjalanan hidup.
Sholat adalah amalan pertama yang akan dihisab. Jika sholatnya baik, maka baiklah seluruh amalnya. Jika sholatnya rusak, maka rusaklah seluruh amalnya. Maka pesan “sholatlah” sejatinya adalah pesan penyelamatan. Ia mengajarkan bahwa sebelum berharap disholatkan oleh manusia, seseorang harus terlebih dahulu menegakkan sholatnya di hadapan Allah.
Sebagai seorang muballigh, saya sering menyaksikan bahwa sholatlah yang menentukan sholatkan. Orang yang menjaga sholatnya akan dijaga kehormatannya oleh Allah, baik saat hidup maupun setelah wafat. Ia mungkin tidak dikenal dunia, tetapi dikenal oleh langit. Ia mungkin tidak dielu-elukan manusia, tetapi didoakan oleh malaikat.
Dalam sholat, manusia belajar kejujuran dan kerendahan hati. Takbir mengajarkan bahwa Allah lebih besar dari segala urusan dunia. Ruku dan sujud mengajarkan bahwa setinggi apa pun kedudukan manusia, tempatnya tetap di bawah kebesaran Allah. Salam mengajarkan bahwa sholat harus melahirkan kedamaian, akhlak, dan tanggung jawab sosial.
Pesan cinta terakhir ini seharusnya mengguncang kesadaran kita yang masih diberi usia. Sholatlah sebelum disholatkan. Bersujudlah sebelum tubuh tak lagi mampu bersujud. Jangan berharap pertolongan di alam kubur dan padang Mahsyar, jika ketika hidup kita enggan memenuhi panggilan azan.
Sebab pada akhirnya, ketika suara azan tak lagi kita dengar, kaki tak lagi mampu melangkah ke masjid, dan tangan tak lagi mampu berwudu, yang akan berbicara tentang diri kita bukanlah kata-kata, melainkan sholat kita.
Maka pesan cinta yang paling jujur, paling tegas, dan paling menyelamatkan yang diwariskan Rasulullah ﷺ kepada putrinya, dan kepada seluruh umatnya, adalah satu kalimat abadi:
Wahai anakku, sholatlah. Aku tidak mampu menolongmu dari liang lahat hingga padang Mahsyar jika engkau meninggalkan sholat.
Redaksi


