MRKR Desak Presiden Prabowo Instruksikan Penegakan Hukum yang Objektif dalam Kasus Purajaya Pengamat Peringatkan Ancaman Destabilisasi Jika Kekosongan Hukum Tak Diakhiri

MRKR Desak Presiden Prabowo Instruksikan Penegakan Hukum yang Objektif dalam Kasus Purajaya Pengamat Peringatkan Ancaman Destabilisasi Jika Kekosongan Hukum Tak Diakhiri

 

beritarepublikviral.com.Tanjungpinang — Surat terbuka Majelis Rakyat Kepulauan Riau (MRKR) kepada Presiden Prabowo Subianto menandai eskalasi baru dalam sengketa panjang Hotel & Resort Purajaya di Batam. Organ representatif tokoh masyarakat dan adat Kepri itu meminta Presiden turun tangan langsung untuk memastikan penegakan hukum berjalan objektif, independen, dan tidak terkooptasi kepentingan tertentu.

Ketua MRKR Huzrin Hood menyatakan, ketidakpastian hukum yang membelit kasus Purajaya sejak pembongkaran bangunan pada Juni 2023 bukan lagi sekadar perselisihan antara pemilik dan pihak yang merobohkan. Ia telah berkembang menjadi ancaman laten terhadap iklim investasi, tata kelola pertanahan, dan stabilitas sosial budaya di Batam—wilayah yang selama ini menjadi salah satu motor ekonomi nasional.

MRKR menegaskan bahwa kebingungan kewenangan antara institusi pengelola lahan, tarik-menarik tafsir hukum, hingga potensi kriminalisasi antar-pihak, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Menurut lembaga tersebut, tanpa kejelasan dan keberanian negara menyelesaikan perkara secara tuntas, konflik dapat melebar, memicu gesekan sosial, serta merusak kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum.

pengamat hukum pertanahan dan tata kelola daerah menilai langkah MRKR merupakan peringatan keras bagi pemerintah pusat. Mereka menilai Batam adalah kawasan unik dengan rezim lahan yang tidak selalu harmonis antara pemerintah daerah, BP Batam, dan aparat penegak hukum. Sengketa Purajaya, menurut mereka, mencerminkan rapuhnya mekanisme koordinasi dalam menyelesaikan transaksi aset, izin pemanfaatan lahan, hingga eksekusi perintah hukum.

Ketidakpastian yang terlalu panjang dapat memunculkan preseden buruk: jika satu kasus sengketa tanah strategis tidak diselesaikan secara terang dan final, maka kepercayaan investor—khususnya di sektor pariwisata dan real estate—akan menurun drastis. “Batam hidup dari legitimasi kepastian usaha. Begitu hukum tampak ragu, investasi bisa stagnan,” ujar seorang akademisi hukum pertanahan yang diminta pandangannya.

Sementara itu, aspek sosial budaya. Purajaya berada di kawasan dengan dinamika demografi dan kepentingan bisnis yang kompleks. “Jika masyarakat adat, komunitas lokal, dan pelaku investasi sama-sama merasa tidak dilindungi, maka sentimen publik bisa menyulut polarisasi. Dalam konteks Kepri yang multietnis, potensi ini harus diantisipasi.”

MRKR: Batam Tidak Boleh Jadi Wilayah dengan Hukum yang ‘Menggantung’

Dalam suratnya, Huzrin Hood menegaskan MRKR dibentuk sebagai wadah kolektif yang memayungi tokoh adat, akademisi, budayawan, dan unsur strategis lainnya. Karena itu, lembaga tersebut merasa berkewajiban menyuarakan kegelisahan publik. Menurutnya, kasus Purajaya tidak boleh dipahami sebatas konflik privat, melainkan sebagai indikator kesehatan tata kelola negara di wilayah berstatus strategis nasional.

MRKR meminta Presiden Prabowo untuk menginstruksikan evaluasi terhadap tata kelola alokasi lahan di Batam, memastikan proses hukum berjalan objektif, serta memfasilitasi penyelesaian final yang memberi kepastian bagi semua pihak. Tanpa itu, kata Huzrin, konflik kewenangan yang berkepanjangan berpotensi memukul kredibilitas negara sekaligus mengancam keberlanjutan pembangunan daerah.

Para analis pemerintahan melihat intervensi kebijakan dari Presiden bukan berarti campur tangan dalam proses yudisial, melainkan memastikan perangkat negara bekerja sesuai prinsip good governance. Mereka menekankan bahwa kekosongan kewenangan yang dibiarkan mengambang selama dua tahun lebih menunjukkan adanya masalah struktural yang tidak cukup dipecahkan oleh aparat daerah.

Menurut mereka, Kepri membutuhkan mekanisme penyelesaian lintas lembaga yang jelas, cepat, dan terukur. “Jika satu kasus saja memerlukan bertahun-tahun tanpa finalitas, bagaimana negara meyakinkan investor baru? Apalagi Batam sedang membangun ekosistem pariwisata dan industri bernilai tinggi,” ujar seorang pakar tata kelola daerah.

Menanti Respons Presiden

Surat MRKR kini menjadi sorotan publik. Jika Presiden merespons permintaan tersebut dengan langkah terukur, kasus Purajaya dapat menjadi momentum penertiban tata kelola pertanahan Batam sekaligus penguatan wibawa hukum di wilayah strategis nasional. Jika tidak, kekhawatiran para pengamat bisa menjadi kenyataan: Batam bergerak menuju era baru ketidakpastian, di mana hukum tak lagi menjadi jangkar, melainkan arena konflik kepentingan tanpa ujung.

( Ns )