Menjaga Ruang Hidup di Tengah Prestasi Tata Kelola

Menjaga Ruang Hidup di Tengah Prestasi Tata Kelola

BANYUWANGI, BERITAREPUBLIKVIRAL.COM –

Banyuwangi kembali menorehkan prestasi dengan meraih penghargaan tata kelola terbaik sebuah capaian yang patut diapresiasi sebagai buah dari konsistensi pemerintah daerah dalam menggerakkan birokrasi yang kolaboratif, lincah, dan terlatih mengeroyok persoalan prioritas. Di bawah kepemimpinan bupati yang inovatif dan memiliki warming glow kehangatan personal yang menunjukkan keterlibatan emosional dan empatik dalam setiap kebijakan Banyuwangi berhasil membangun ekosistem birokrasi yang tidak bekerja dalam sekat sekat struktural, tetapi dalam orkestrasi yang selaras menuju satu target besar: peningkatan kesejahteraan dan penurunan kemiskinan. Prestasi ini penting sebagai fondasi bahwa Banyuwangi memiliki kapasitas tata kelola yang kuat untuk menghadapi tantangan masa depan.

Pada saat yang sama, prestasi ini hadir di tengah peringatan penting. Banyuwangi adalah daerah dengan kekayaan ekologis luar biasa: tiga kawasan pangkuan hutan (KPH Barat, Utara, dan Selatan), hutan lindung yang menjadi benteng keanekaragaman hayati, sungai yang mengalir sepanjang tahun sebagai sumber irigasi, dan garis pantai yang panjangnya mencapai sekitar 175,8 kilometer.

Tetapi beberapa pantai kini tak lagi menjadi ruang hidup ikan akibat kerusakan ekosistem pesisir, beberapa daerah menjadi langganan banjir hampir setiap tahun, dan tekanan terhadap hutan meningkat seiring pertumbuhan aktivitas ekonomi dan migrasi penduduk.

Semoga tidak menjadi paradoks Banyuwangi: bergelimang prestasi tata kelola, dihadapan ancaman ekologis yang nyata. Sehingga , momentum penghargaan ini justru harus dibaca sebagai panggilan untuk meningkatkan ketangguhan ekologis bukan sekadar selebrasi administratif.

Di tingkat lokal, kesadaran ini mulai menguat. Dalam momentum FGD bertema “Optimalisasi Peran Ormas dan Potmas dalam Mewujudkan Kamtibmas Menuju Banyuwangi Sejahtera”,

Kapolresta Banyuwangi menekankan sebuah pesan strategis: menjaga sumber daya alam air, hutan, pesisir adalah bagian dari menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Perebutan sumber daya adalah salah satu pemicu konflik sosial paling klasik, dan tanpa perlindungan ekologi, stabilitas sosial tidak dapat dijamin. Pesan ini menegaskan bahwa isu ekologis bukan lagi isu lingkungan semata, tetapi isu keamanan publik (public safety).

Untuk memahami dimensi lebih dalam, kita perlu melihat bagaimana literatur akademik membedakan namun juga menghubungkan sustainability dan resilience. Redman (2014) dan Meacham (2016) menjelaskan bahwa sustainability beroperasi pada skala ruang dan waktu yang lebih luas: menjaga keberlanjutan sumber daya, melestarikan pengetahuan lokal, dan mempertahankan keseimbangan sosial ekonomi generasi ke generasi. Sementara resilience berfokus pada kemampuan sistem untuk menyerap gangguan, pulih, dan beradaptasi terhadap perubahan atau krisis.
Dalam konteks Banyuwangi, sustainability adalah komitmen jangka panjang terhadap pelestarian sumber daya alam hutan yang tetap hijau, sungai yang tetap mengalir, pesisir yang tetap hidup, ekosistem yang tetap produktif. Resilience adalah kemampuan Banyuwangi untuk menghadapi banjir tahunan, ancaman krisis air, perubahan cuaca ekstrem, dan potensi konflik akibat tekanan sumber daya.
Namun literatur juga memberi peringatan: resilience bisa dicapai di satu wilayah dengan mengorbankan wilayah lain, atau di satu generasi dengan mengorbankan generasi berikutnya (Chelleri et al., 2015). Artinya, Banyuwangi harus berhati-hati: pengembangan ekonomi tidak boleh dibangun di atas fragilitas ekologis. Keberhasilan inovasi wisata, ekspansi investasi, dan pertumbuhan UMKM harus tetap ditempatkan dalam kerangka menjaga ruang hidup masyarakat.
Kerangka lain menjelaskan bagaimana resilience dapat menjadi komponen dari sustainability, seperti yang digagas Resilience Alliance. Tanpa ketangguhan, keberlanjutan akan rapuh. Banyuwangi perlu memastikan bahwa setiap inovasi kebijakan mulai dari pengelolaan wisata, perhutanan sosial, pertanian organik, hingga pengembangan pesisir dibangun dengan perhitungan risiko ekologis yang jelas. Dalam pengalaman banyak kota, gagalnya integrasi antara sustainability dan resilience menyebabkan konflik kebijakan, ketidakefisienan, dan bahkan kegagalan pembangunan (Lizarralde et al., 2015).

Sebaliknya, pendekatan manajemen yang menyatukan dua konsep ini seperti yang dianjurkan Anderies, Bocchini, dan Xu akan menghasilkan tata kelola yang tidak hanya menjanjikan masa depan yang berkelanjutan, tetapi juga siap menghadapi kejutan dan gangguan di masa depan.

Dengan demikian, prestasi Banyuwangi harus dilihat sebagai “modal dasar”, bukan tujuan akhir. Pemerintah daerah terbukti memiliki kapasitas birokrasi yang mampu bekerja cepat, kolaboratif, dan inovatif. Pemimpinnya mampu menyalakan energi optimisme dan kedekatan emosional warming glow yang memperkuat kepercayaan publik. Tetapi Banyuwangi juga memiliki rumah besar bernama alam yang sedang memanggil untuk dijaga.

Inilah saatnya Banyuwangi bergerak ke babak berikutnya: menjadikan prestasi tata kelola sebagai landasan untuk membangun ketangguhan ekologis. Bukan hanya menjaga lingkungan demi estetika atau wisata, tetapi demi ruang hidup masyarakat itu sendiri demi keamanan, kesejahteraan, dan masa depan anak cucu Banyuwangi.
Prestasi itu penting. Tetapi peringatan ekologis jauh lebih penting untuk direspons hari ini.

(Dra).