Batam di Titik Balik Pembangunan: Antara Krisis Lingkungan dan Harapan Blue Economy

Batam di Titik Balik Pembangunan: Antara Krisis Lingkungan dan Harapan Blue Economy

Oleh : Prof. Dr. Ir. Chablullah Wibisono, MBA, MM., IPU

1. WR I Universitas Batam.
2. Waketum MUI Kepri.
3. Ketua FKUB kota Batam

beritarepublikviralnews.com. Batam. Kota industri yang selama ini menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi di wilayah Kepulauan Riau kini tengah berada di titik balik yang menentukan. Di tengah derap pembangunan yang terus melaju, Batam dihadapkan pada persoalan serius berupa krisis lingkungan yang semakin nyata. Banjir, tumpukan sampah, longsor, pencemaran laut, hingga rusaknya kawasan resapan air menjadi tanda bahwa pertumbuhan belum sepenuhnya berjalan seiring dengan kelestarian alam.

Dalam beberapa tahun terakhir, keluhan masyarakat terkait dampak lingkungan semakin sering terdengar. Setiap musim hujan, sejumlah wilayah yang sebelumnya aman kini berubah menjadi langganan genangan. Permukiman padat terendam, aktivitas warga terganggu, dan akses transportasi lumpuh. Sungai dan drainase menyempit akibat sedimentasi dan sampah. Bukit-bukit yang dahulu hijau perlahan berubah menjadi kawasan gundul karena aktivitas pembukaan lahan yang masif.

Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa banyak kawasan yang sebelumnya berfungsi sebagai daerah resapan air kini telah beralih menjadi kawasan permukiman, industri, dan pusat usaha. Danau-danau yang dahulu menjadi penampung air hujan sebagian telah ditimbun. Hutan kecil di pinggiran kota terus menyusut. Akibatnya, air hujan yang turun dalam intensitas tinggi tidak lagi memiliki ruang alami untuk diserap, melainkan langsung mengalir ke permukiman.

Kondisi ini memicu banjir di berbagai titik, bahkan di wilayah yang sebelumnya tidak pernah terdampak. Warga harus berjibaku menyelamatkan barang-barang dari rumah mereka. Aktivitas ekonomi lumpuh sementara. Anak-anak terpaksa libur sekolah, dan sebagian pekerja kesulitan berangkat karena jalan terputus oleh genangan air.

Berbagai pihak menilai bahwa bencana yang terjadi bukan semata disebabkan faktor alam. Lemahnya pengelolaan tata ruang, kurangnya pengawasan terhadap aktivitas pembangunan, serta rendahnya kesadaran kolektif menjaga lingkungan dinilai sebagai faktor utama yang memperparah kondisi. Penimbunan lahan, pembuangan sampah sembarangan, serta eksploitasi kawasan hijau tanpa perhitungan matang telah membuat daya dukung alam semakin menurun.

Di sisi lain, Batam sesungguhnya dianugerahi potensi besar sebagai kota maritim dan kepulauan. Terletak di jalur perdagangan internasional, dengan laut yang luas dan kekayaan pesisir yang melimpah, Batam seharusnya mampu mengembangkan ekonomi yang seimbang antara industri, pariwisata, dan kelautan. Namun dalam praktiknya, pembangunan masih sangat bertumpu pada sektor industri besar dan kawasan manufaktur.

Pertumbuhan investasi memang membawa dampak positif terhadap peningkatan ekonomi daerah. Kawasan industri terus berkembang, pabrik bertambah, dan aktivitas perdagangan semakin ramai. Namun di balik pertumbuhan itu, kesenjangan sosial masih terasa. Nelayan tradisional, masyarakat pesisir, dan pelaku usaha kecil belum sepenuhnya menikmati hasil pembangunan secara adil dan merata.

Tidak sedikit warga pesisir yang mengeluhkan semakin menurunnya hasil tangkapan akibat pencemaran laut dan alih fungsi kawasan pantai. Di sejumlah titik, reklamasi dan aktivitas industri mengubah ekosistem laut yang selama puluhan tahun menjadi sumber kehidupan masyarakat. Nelayan harus melaut lebih jauh dengan biaya operasional yang semakin besar, sementara hasil tangkapan tidak sebanding.

Dalam konteks inilah, konsep Blue Economy mulai dipandang sebagai salah satu solusi strategis untuk masa depan Batam. Blue Economy menekankan pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan, efisien, ramah lingkungan, dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat. Prinsip-prinsip seperti pengurangan limbah, pemanfaatan teknologi ramah lingkungan, penciptaan lapangan kerja dari sektor kelautan, penguatan ekonomi masyarakat pesisir, pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan, inovasi berbasis ekosistem laut, serta perlindungan keanekaragaman hayati menjadi fondasi utama pendekatan ini.

Para pemerhati lingkungan menilai bahwa penerapan Blue Economy dapat menjadi jalan tengah antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian alam. Laut tidak hanya dipandang sebagai ruang eksploitasi, tetapi sebagai sumber kehidupan yang harus dijaga. Dengan pendekatan ini, sektor perikanan, pariwisata bahari, energi terbarukan berbasis laut, serta pengolahan hasil laut bernilai tambah dapat dikembangkan tanpa merusak ekosistem.

Di tengah krisis lingkungan yang kian terasa, isu ini tidak lagi sekadar persoalan teknis, tetapi juga menyentuh dimensi moral. Banyak pihak menilai bahwa kerusakan yang terjadi saat ini adalah akibat dari cara pandang pembangunan yang terlalu menomorsatukan keuntungan jangka pendek, sementara kelestarian alam dan kesejahteraan jangka panjang masyarakat terabaikan.

Pembangunan yang tidak disertai etika lingkungan dinilai berisiko besar menimbulkan masalah yang lebih luas di masa depan. Ketika alam rusak, masyarakat kecillah yang pertama kali merasakan dampaknya. Banjir merusak rumah mereka, pencemaran menggerus sumber penghidupan mereka, dan ketimpangan membuat posisi mereka semakin rentan.

Peran pemerintah pun terus menjadi sorotan publik. Masyarakat berharap agar kebijakan pembangunan tidak hanya berorientasi pada angka pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada keselamatan lingkungan dan keadilan sosial. Penataan tata ruang yang tegas, pengawasan ketat terhadap aktivitas industri, serta penegakan aturan lingkungan secara konsisten dinilai menjadi kebutuhan yang mendesak.

Sejumlah aktivis lingkungan juga mendorong agar pemerintah daerah lebih serius melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Menurut mereka, suara warga, terutama yang tinggal di kawasan rawan bencana dan pesisir, harus menjadi bagian penting dalam setiap pengambilan kebijakan, agar pembangunan tidak kehilangan arah sosialnya.

Kini Batam berada pada fase penting dalam sejarah perjalanannya. Di satu sisi, ia terus berpacu menjadi kota industri modern yang maju dan kompetitif. Di sisi lain, ia sedang diuji oleh persoalan lingkungan dan sosial yang semakin kompleks. Arah kebijakan yang ditempuh hari ini akan sangat menentukan wajah Batam pada masa depan.

Jika pembangunan terus berjalan tanpa keseimbangan, maka banjir, kerusakan lingkungan, dan ketimpangan sosial berpotensi menjadi rutinitas baru yang terus berulang. Namun jika kesadaran kolektif dapat dibangun, jika kebijakan berpihak kepada lingkungan dan masyarakat kecil, serta jika Blue Economy dijadikan bagian utama dari strategi pembangunan, Batam masih memiliki peluang besar untuk tumbuh sebagai kota yang maju, adil, dan berkelanjutan.

Kini harapan warga tertuju pada keseriusan semua pihak untuk menjadikan lingkungan sebagai jantung pembangunan, bukan sekadar pelengkap. Sebab pada akhirnya, kemajuan sebuah kota tidak hanya diukur dari tingginya gedung dan ramainya industri, tetapi juga dari sejauh mana ia mampu menjaga lautnya, melindungi alamnya, dan memuliakan manusia yang hidup di dalamnya.

( Ns )