Beritarepublikviralnews Batam. Di tengah gegap gempita Batam sebagai motor investasi nasional, sebuah kisah buruh kembali menyingkap sisi gelap dunia kerja yang kerap tersembunyi di balik tembok pabrik. Kasus Faizal, pekerja PT Allbest Marine, bukan sekadar perselisihan biasa—melainkan cermin retak hubungan industrial yang mudah patah oleh keputusan sepihak, prosedur yang diabaikan, dan ancaman yang tak semestinya muncul di ruang kerja modern.
Faizal dipanggil perusahaan untuk hadir pada Selasa, 2 Desember 2025, pukul 02.30 Wita di Tanjung Uncang. Hari ini ia memenuhi panggilan itu di kantor Argus, mediator internal perusahaan, di Bintang Industrial Park 2D Nomor 56. Di hadapan tim internal, ia bersiap memaparkan kronologi lengkap yang menurutnya menjadi bukti bahwa pemutusan hubungan kerjanya dilakukan tanpa dasar hukum dan tanpa prosedur wajib yang diatur undang-undang.
Semua bermula dari transfer Rp500.000—titipan dari rekannya, Fajar, untuk seseorang bernama Farhat. Bukti transfer yang mestinya menjadi bahan klarifikasi justru berubah menjadi dasar pemanggilan HRD. Pada 10 Desember ia diminta hadir membawa bukti itu. Namun ketika kembali pada 17 Desember untuk menjelaskan, situasi berubah drastis: Faizal menerima surat panggilan pertama sekaligus surat PHK. Semua terjadi dalam sehari.
Tidak ada pemeriksaan. Tidak ada risalah. Tidak ada kesempatan membela diri. Tidak ada bipartit. Tidak ada proses objektif sebagaimana diwajibkan hukum ketenagakerjaan. Keputusan jatuh begitu saja—tanpa prosedur, tanpa ruang klarifikasi, tanpa transparansi.
“Bukti transfer itu tidak pernah diberi ruang untuk saya jelaskan. Saya tidak diberi hak jawab sama sekali,” ujar Faizal saat ditemui di Pelabuhan Sri Bintan Pura sebelum berangkat menuju bipartit yang dijanjikan perusahaan.
Faizal mengaku situasi makin mengerikan ketika dirinya menerima ancaman dari Joni, staf HRD, dan Ronald, pegawai lapangan. Ia menyebut diancam akan dilaporkan ke polisi, hingga ancaman ekstrem berupa “akan dimasukkan ke parit” di area perusahaan.
“Saya bekerja penuh dedikasi. Reputasi saya dipertaruhkan. Saya tidak bisa menerima PHK yang dilakukan sesuka hati, tanpa prosedur, ditambah ancaman yang melecehkan martabat saya sebagai pekerja,” tegasnya.
Pakar Ketengakerjaan: “PHK Sehari Tanpa Pemeriksaan Adalah Red Flag Besar”
Seorang pengamat ketenagakerjaan menilai kasus ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap prinsip-prinsip dasar hubungan industrial.
“PHK yang dilakukan pada hari yang sama dengan pemanggilan adalah red flag besar. Itu menyalahi prinsip due process dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Pemeriksaan harus objektif, terdokumentasi, dan memberikan ruang pembelaan,” ujarnya.
Ia menilai bahwa setiap tuduhan harus ditopang bukti material, bukan sekadar dugaan yang ditarik sepihak.
Pakar hukum ketenagakerjaan, Siti Rahmawati, S.H., M.H., menambahkan bahwa ancaman dalam proses administrasi secara otomatis menjadikan keputusan PHK tidak sah.
“Jika PHK dilakukan di bawah tekanan atau intimidasi, keputusan itu cacat hukum dan dapat dibatalkan. Administrasi tidak boleh bergandengan dengan ancaman,” jelasnya.
Soal transfer Rp500 ribu, Siti melihat tidak ada relevansi hukum yang dapat dijadikan dasar PHK.
“Transfer titipan tanpa bukti penyalahgunaan tidak bisa digunakan sebagai dasar tindakan disipliner, apalagi PHK. Jika tidak ada korelasi hukum yang jelas, keputusan itu sudah masuk kategori sewenang-wenang.”
Kultur Ketakutan di Balik Industri Batam
Kasus Faizal dinilai sebagai gambaran pola yang berulang: perusahaan mengabaikan mekanisme formal, mengambil keputusan sepihak, lalu menambalnya dengan tekanan psikologis atau ancaman untuk membungkam bantahan pekerja.
Para analis menilai bahwa masalah ini menunjukkan kegagalan struktural dalam hubungan industrial Batam—kota yang seharusnya menjadi model kedisiplinan prosedural dan perlindungan pekerja dalam iklim investasi yang kompetitif.
Ketika ancaman menjadi alat, pekerja kehilangan perlindungan paling dasar. Ketika PHK dapat dijatuhkan kilat tanpa risalah dan tanpa bipartit, hukum ketenagakerjaan tergerus menjadi formalitas kosong.
“Di Mana Kesalahan Saya?”
Di balik semua tekanan, Faizal hanya menginginkan satu hal: pembuktian.
“Saya hanya ingin perusahaan membuktikan apa kesalahan saya. Apa dasar hukumnya? Kalau tidak ada, bagaimana saya mempertahankan nama baik saya?” ujarnya.
Ia tidak menuntut kembali bekerja. Yang ia cari adalah transparansi, kejelasan, dan kesempatan membersihkan namanya.
Kini publik menunggu apakah PT Allbest Marine akan mengeluarkan klarifikasi resmi. Namun apa pun sikap perusahaan, kasus Faizal telah membuka kembali luka lama: bahwa banyak pekerja di Batam masih berdiri sendirian antara aturan yang ideal dan realitas keras lapangan.
Di kota industri yang berdenyut cepat, kisah Faizal menjadi peringatan bahwa pekerja bukan bagian mesin yang bisa dicopot sesuka hati—mereka manusia dengan hak, martabat, dan kebenaran yang layak diperjuangkan.
( Nur )

