Rasionalitas yang Tersandung Retorika: Ketika Klaim Pejabat Dipatahkan Data Lapangan dan Logika Publik

Beritarepublikviralnews..com.Tanjungpinang. Di tengah era kecerdasan buatan, keterbukaan informasi, serta kemampuan publik melakukan verifikasi data secara mandiri, satu hal menjadi jelas: retorika tidak lagi bisa berdiri tanpa logika. Pidato seorang pejabat daerah yang mengklaim konser Wali Band dihadiri 80 ribu orang, konser Diva Aurel mencapai 40 ribu penonton, serta perputaran uang UMKM mencapai Rp8 miliar dalam satu event, kini menuai gelombang kritik dari berbagai kalangan. Para pengamat menilai pernyataan itu tidak hanya janggal, tetapi juga “bertentangan dengan hukum ruang, matematika kerumunan, dan perilaku ekonomi paling dasar.”

Secara demografis, Tanjungpinang memiliki sekitar 230 ribu penduduk. Kelompok usia produktif yang menjadi basis utama penonton konser hanya berkisar 140 ribu orang. Dalam teori kerumunan kota, kapasitas konsentrasi massa maksimal pada ruang terbuka jarang melebihi 10–15 persen dari populasi suatu wilayah. Dengan demikian, kerumunan terbesar yang secara realistis dapat terjadi di pusat kota diperkirakan berkisar 20–35 ribu orang. “Ketika angka 80 ribu disebut, itu bukan hanya melampaui batas wajar, melainkan tidak memiliki pijakan statistik,” ujar seorang pengamat komunikasi publik.

Analisis yang paling telak datang dari pengukuran fisik lokasi acara. Chaidar Rahmat, pengamat sosial-budaya Kepri, memetakan area konser yang berbentuk setengah lingkaran dengan diameter 75 meter. Ruang itu menghasilkan luasan sekitar 4.500–5.000 meter persegi. Menggunakan standar kepadatan festival yang ekstrem—5 orang per meter persegi—maksimal penonton hanya berada pada kisaran 11–15 ribu orang.

“Tidak ada skenario apa pun yang memungkinkan angka 80 ribu. Kepadatan orang tidak bertambah hanya karena pidato ingin terdengar megah,” tegas Chaidar. “Klaim itu sangat keterlaluan secara teknis.”

Klaim perputaran uang UMKM sebesar Rp8 miliar dalam satu event pun dipandang tak masuk akal. Dengan jumlah pedagang sekitar 250–300 orang, maka masing-masing pedagang harus mencatat omzet lebih dari Rp30 juta per malam—sebuah angka yang tidak realistis untuk pedagang makanan, minuman, dan produk harian di ruang terbuka. Dalam pengalaman berbagai festival besar, omzet UMKM biasanya berkisar Rp1–5 juta per hari, bahkan pada puncak keramaian sekalipun.

Kesaksian lapangan justru menunjukkan kondisi yang kontras. Banyak pedagang UMKM mengaku hasil penjualan mereka “setara dengan akhir pekan biasa,” bahkan beberapa di antaranya merugi akibat lokasi yang kurang strategis. Zona A dan B yang seharusnya steril justru terlihat diisi pihak tertentu, sedangkan UMKM resmi dipindah ke zona pinggir dengan arus pengunjung yang tidak merata. Seorang petugas keamanan mengakui bahwa penempatan personel lebih fokus pada pengamanan jalur pejabat ketimbang penataan kerumunan secara menyeluruh.

Ketidakteraturan ini memberi gambaran bahwa narasi omzet Rp8 miliar tidak berdiri di atas data transaksi nyata, melainkan sekadar elemen retorika podium.

Sejumlah analis melihat fenomena ini sebagai gejala klasik: pemerintah ingin menampilkan keberhasilan melalui angka-angka besar, namun gagal mempertimbangkan kemampuan publik dalam menguji klaim tersebut. “Zaman sudah berubah,” kata pengamat komunikasi publik itu. “Drone murah, kamera ponsel, analisis spasial berbasis AI, serta keterbukaan data membuat masyarakat mampu menilai sendiri apakah suatu klaim masuk akal. Ketika angka dilebih-lebihkan, publik akan melihatnya sebagai distorsi realitas.”

Chaidar menekankan bahwa ruang publik bukan sekadar panggung politik, tetapi ruang yang menuntut ketertiban, proporsionalitas, dan kejujuran data. “Menata pedagang, mengatur crowd control, memastikan keselamatan—itu kerja konkret. Bukan bahan pidato yang dilebihkan tanpa dasar. Integritas pejabat tercermin dari ketepatan angka yang disampaikan.”

Kritik yang muncul bukan berarti menolak keberhasilan penyelenggaraan acara, tetapi sebagai pengingat bahwa kepercayaan publik hanya dapat dibangun melalui keterbukaan data yang dapat diverifikasi. Di tengah masyarakat yang semakin kritis, angka bukan lagi hiasan retorik; angka adalah ukuran moralitas kepemimpinan.

Sebagai bentuk keberimbangan, redaksi telah berupaya meminta tanggapan dari Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Riau. Hingga laporan ini diterbitkan, belum ada respons resmi yang diberikan.

( Ns )