BRV.COM-BANYUASIN,Klarifikasi Kejaksaan Negeri (Kejari) Banyuasin terkait sejumlah kasus dugaan korupsi justru menimbulkan perdebatan baru di tengah publik. Alih-alih menuntaskan rasa penasaran, pernyataan resmi Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus), Giovani, menyisakan keraguan mendalam atas transparansi penegakan hukum di daerah ini.
Dalam keterangannya, Giovani menjawab keresahan masyarakat mengenai progres beberapa perkara besar, mulai dari dugaan korupsi di Baznas, PDAM, PMI, hingga program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) Banyuasin. Dari semua itu, kasus Baznas menjadi sorotan utama.
Dana Rp500 Juta, Benarkah Sudah Dikembalikan?
Giovani menyebut dugaan penyimpangan pengelolaan dana zakat di Baznas merupakan kasus lama. Audit Inspektorat Kementerian Agama RI menemukan kerugian negara hingga Rp500 juta. Namun, Giovani menegaskan kerugian itu telah dikembalikan pada tahap penyelidikan, dan pihak Baznas juga disebut sudah mendapat sanksi dari lembaga terkait.
“KN sudah dikembalikan pada saat pralidik. Pihak Baznas telah diberikan sanksi oleh lembaga bersangkutan, dan kasus sudah dihentikan,” ujar Giovani, Senin (15/9/2025).
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan serius: bagaimana mekanisme pengembalian dana ratusan juta rupiah tersebut? Apakah ada bukti setor resmi ke kas negara? Mengapa tidak ada publikasi atau ekspos resmi agar publik yakin dana benar-benar kembali?
Padahal, Pasal 4 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dengan tegas menyatakan:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
Artinya, meskipun dana dikembalikan, proses hukum tetap wajib berjalan hingga tahap penetapan tersangka dan pembuktian di pengadilan. Langkah Kejari Banyuasin menghentikan perkara hanya karena adanya pengembalian dana berpotensi menabrak prinsip dasar hukum tipikor itu sendiri.
Kritik Aktivis
Sepriadi Pratama, aktivis Banyuasin, menilai sikap Kejari ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat.
“Bagaimana masyarakat bisa yakin uang itu benar-benar dikembalikan kalau bukti setor saja tidak diumumkan? Ini menyangkut dana publik,” tegas Sepriadi.
Ia mengingatkan, dana zakat yang dikelola Baznas Banyuasin berasal dari potongan zakat Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan nilai hampir Rp20 miliar per tahun. Dengan angka sebesar itu, potensi penyimpangan sangat besar bila tidak ada mekanisme pengawasan ketat.
Lemahnya Pengawasan
Secara normatif, Baznas merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat.
Dalam Pasal 3 disebutkan:
“Pengelolaan zakat bertujuan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat serta meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.”
Sementara itu, Pasal 7 ayat (1) menegaskan:
“Baznas berkedudukan sebagai lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.”
Artinya, meskipun Baznas bersifat mandiri, lembaga ini tetap dalam pengawasan pemerintah, salah satunya oleh Kementerian Agama.
Audit administratif oleh Inspektorat Kemenag RI memang menemukan kerugian Rp500 juta, tetapi audit tersebut seharusnya tidak menutup ruang bagi proses pidana. Seharusnya kedua jalur berjalan paralel: Kemenag melakukan pembinaan, sementara Kejari menegakkan hukum.
Kritiknya, Kejari justru menutup perkara tanpa kejelasan dokumen publik: tidak ada bukti setor ke kas negara yang diumumkan, tidak ada rilis resmi mengenai bentuk sanksi, dan tidak ada transparansi soal proses pengembalian dana.
Kontras dengan PDAM dan PMI
Dalam kasus lain, Giovani menegaskan perkara dugaan korupsi PDAM dan PMI masih terus diproses. Ia memastikan perkara itu akan naik ke tahap penetapan tersangka, meski belum bisa menyebutkan siapa saja yang akan ditetapkan.
“PDAM dan PMI saya pastikan naik. Tapi untuk tersangka, saya belum bisa memastikan karena KN masih dihitung oleh BPKP. Keputusan siapa tersangka ada di tangan Kepala Kejari,” kata Giovani.
Ironisnya, sikap hati-hati ini berbanding terbalik dengan perkara Baznas yang justru dihentikan secara kilat.
Pertanyaan yang Masih Menggantung
Publik kini menuntut jawaban tegas atas sejumlah pertanyaan mendasar:
1. Apakah benar Rp500 juta kerugian negara sudah disetor ke kas negara? Mana bukti resminya?
2. Apa sanksi konkret yang dijatuhkan kepada pengurus Baznas yang terlibat?
3. Mengapa perkara dihentikan, padahal UU Tipikor melarang pengembalian uang dijadikan alasan menghapus tindak pidana?
4. Bagaimana jaminan agar dana zakat ASN Banyuasin tidak kembali diselewengkan?
Tuntutan Transparansi
Masyarakat Banyuasin kini menunggu langkah nyata Kejari maupun pemerintah daerah. Publik tidak cukup hanya dengan klaim bahwa uang telah dikembalikan, melainkan menuntut bukti otentik berupa dokumen setoran ke kas negara, laporan audit terbuka, dan kejelasan sanksi terhadap pengurus Baznas.
Hal ini sejalan dengan Pasal 3 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN yang menegaskan:
“Penyelenggara negara wajib melaksanakan tugas secara jujur, transparan, dan akuntabel untuk kepentingan masyarakat.”
Tanpa pemenuhan prinsip transparansi dan akuntabilitas itu, keraguan publik akan terus menguat: apakah Kejari Banyuasin benar-benar meneg
akkan supremasi hukum, atau justru mengedepankan kompromi di balik meja.