Brv.com, Palembang-Gelombang keresahan sosial di Indonesia sudah tak lagi bisa dipandang sebagai sekadar unjuk rasa biasa. Kita sedang menyaksikan sebuah revolusi sosial yang sedang berlangsung, di mana rakyat mengekspresikan kemarahan kolektifnya terhadap elite politik yang dianggap abai pada penderitaan rakyat.
Dalam beberapa hari terakhir, simbol-simbol kemarahan itu muncul nyata. Rumah, kantor, bahkan aset milik beberapa anggota DPR RI ikut menjadi sasaran. Nama-nama seperti Ahmad Sahroni, Uya Kuya, hingga Eko Patrio disebut-sebut dalam pusaran peristiwa: ada pengrusakan, penjarahan, bahkan penyerbuan yang melibatkan massa dalam jumlah besar. Fenomena ini bukan sekadar kriminalitas spontan, melainkan pesan politik rakyat yang frustrasi: “Kami sudah muak, kami ingin perubahan nyata.”
Narasi pengrusakan dan penjarahan ini menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap wakil rakyat sedang runtuh. Mereka yang seharusnya berdiri di garis depan membela kepentingan rakyat, justru dianggap menikmati kenyamanan, kekayaan, dan privilese di tengah rakyat yang kesulitan.
Inilah tanda-tanda revolusi sosial:
Kemarahan berubah menjadi tindakan langsung. Massa tidak lagi sekadar turun ke jalan dengan spanduk, tetapi mulai mengarah ke simbol-simbol kekuasaan dan kemewahan.
Elite politik kehilangan wibawa. Nama besar atau popularitas artis-politisi tidak lagi cukup untuk melindungi mereka dari gelombang kekecewaan rakyat.
Solidaritas massa semakin kuat. Gerakan ini bukan digerakkan oleh satu kelompok saja, melainkan gabungan keresahan lintas generasi dan profesi.
Tentu saja, pengrusakan dan penjarahan bukanlah jalan ideal. Kekerasan justru bisa melahirkan kekacauan baru. Namun, jika kita jujur, fenomena ini adalah gejala dari penyakit dalam tubuh bangsa: kesenjangan sosial-ekonomi yang makin lebar, politik yang kotor, serta rasa ketidakadilan yang menumpuk.
Karena itu, dibutuhkan langkah nyata agar revolusi sosial tidak berubah menjadi kekacauan nasional:
1. Ganti semua anggota DPR yang menyakiti rakyat. Mereka yang terbukti korup, menyalahgunakan jabatan, atau gagal memperjuangkan aspirasi rakyat harus segera dicopot.
2. Lakukan jam malam terbatas. Bukan untuk membungkam rakyat, tetapi untuk mencegah anarkisme dan melindungi warga yang tidak terlibat dalam aksi.
3. Beri insentif seluruh driver online. Mereka adalah garda depan ekonomi rakyat yang paling merasakan beban kenaikan harga.
4. Batalkan kebijakan kenaikan gaji DPR dan pejabat. Tidak etis di saat rakyat menjerit, elite justru menambah kenyamanan dirinya.
5. Seluruh gubernur, bupati, dan wali kota wajib turun menenangkan rakyat. Mereka tidak boleh hanya diam di kantor, tetapi harus hadir di lapangan, menyapa langsung rakyat, mendengar keluhan, dan mencari solusi.
Bila langkah-langkah konkret ini tidak segera dijalankan, api kemarahan akan semakin meluas. Sejarah sudah berulang kali mencatat, ketika rakyat merasa dikhianati, maka istana bisa runtuh, parlemen bisa kosong, dan rezim bisa berganti. Revolusi sosial yang sedang berlangsung ini bukan sekadar peringatan, melainkan ancaman nyata (red)