Palembang, Br-v.com – Dugaan praktik melawan hukum kembali mencuat dari dunia pendidikan. Oknum Kepala Sekolah SMK Muhammadiyah 2 Palembang dilaporkan masih menahan ijazah milik seorang siswi bernama Erika sejak kelulusannya pada tahun 2022. Penahanan tersebut dilakukan dengan dalih tunggakan biaya pendidikan yang belum dilunasi.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Erika mengungkapkan bahwa pihak keluarga sudah berkali-kali datang ke sekolah, namun tetap ditolak dengan alasan belum melunasi SPP. Bahkan, sempat diminta membawa uang Rp300 ribu untuk proses legalisir, tetapi ijazah tetap tidak diberikan.
“Assalamualaikum pak, kemarin ibu Ika lah ke sekolahan. Terus katanyo, kalo nak mintak legalisir ijazah bawak bae duet 300 ribu pak, trus nanti dikasihnyo. Tapi ternyata dak dikasihnyo jugo, harus bayar dulu,” ujar Erika, Selasa (29/7/2025).
Ironisnya, saran dari Kepala Bidang SMA Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan, Andy Bobby Wahyudi, SH, M.Si, agar Erika langsung mengambil ijazah ke sekolah, juga tidak digubris oleh pihak sekolah. Hingga berita ini ditayangkan, Kabid SMK Disdik Provinsi Sumsel belum memberikan tanggapan resmi atas dugaan pelanggaran tersebut.
Tindakan ini secara terang-terangan melanggar Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah dan Surat Edaran Kemendikbudristek Nomor 14 Tahun 2023 yang secara tegas melarang penahanan ijazah oleh sekolah, apapun alasannya, termasuk tunggakan biaya pendidikan.
Ijazah merupakan dokumen negara yang menjadi hak mutlak peserta didik setelah dinyatakan lulus, dan penahanan atas dasar apapun merupakan tindakan melawan hukum yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hak warga negara atas pendidikan, sebagaimana dijamin oleh Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Aktivis pendidikan Sumatera Selatan, Rinaldi Davinci, angkat bicara tegas soal penahanan ijazah ini.
“Tindakan penahanan ijazah oleh SMK Muhammadiyah 2 Palembang tidak hanya mencederai etika pendidikan, tetapi juga melanggar hukum. Ijazah adalah hak siswa yang telah menyelesaikan pendidikan, bukan alat tekanan pembayaran. Kami mendesak Dinas Pendidikan Sumsel segera bertindak tegas dan memberi sanksi administratif maupun etik kepada pihak sekolah,” ujar Rinaldi pada Jumat (1/8/2025).
Ia juga menyatakan bahwa jika praktik ini terus dibiarkan, akan menciptakan preseden buruk bagi dunia pendidikan di Sumatera Selatan dan mengancam kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan.
Penahanan ijazah siswa adalah pelanggaran serius terhadap hak pendidikan dan integritas lembaga pendidikan. Kasus ini harus menjadi perhatian serius Dinas Pendidikan Sumsel agar praktik serupa tidak menjadi budaya yang membelenggu hak generasi muda. (Tim)